Baju Adat dan Keindonesiaan Kita

Hampir saban th. masyarakat memandang “parade” pakaian adat yang digunakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di dalam perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia.

Sehari sebelum saat upacara tujuh belasan, saat berpidato di sidang bersama DPD dan DPR RI, Jokowi memakai busana tradisi Sasak. Sementara itu, pas saat upacara Hari Ulang Tahun Ke-74 Republik Indonesia (17-8-2019), Jokowi tampil bersama dengan mengenakan pakaian tradisi Bali. Hampir semua tamu undangan yang datang juga berlomba-lomba Mengenakan baju tradisi berasal dari berbagai tempat di Indonesia.

Pakaian kebiasaan menjadi simbol perihal keragaman Indonesia, terdiri atas beragam suku dan etnis. Dominasi jas dan songkok hitam yang sepanjang ini sering dijumpai terhadap upacara-upacara kenegaraan, hari itu tak tampak. Kita melekatkan ide dan wacana lewat sandang. Apa yang kita pakai bakal merepresentasikan berasal dari mana kita berasal, bagaimana pembawaan dan kultur yang dibangun. Karena berbusana rutinitas berarti mencoba perlihatkan eksistensi diri dan sekaligus penguatan tentang identitas kebangsaan negeri ini.

Tak Sekadar Kain

Baju bukan semata rajutan benang yang menutupi tubuh. Baju jadi benda eksistensial. Baju perlihatkan harga diri. Karena itu, penilaian dapat seseorang sering dilaksanakan melalui seperangkat pakaian yang dikenakannya. Baju lantas menjadi pengisahan perihal kaya dan miskin, kota dan desa, dan juga kuno dan kini.

Masyarakat Indonesia menempatkan sandang terhadap rangkaian pertama, diikuti pangan dan papan. Hal itu artinya bahwa pakaian adalah pemuliaan tentang kebijaksanaan hidup, memasang manusia sebagai “manusia”, membedakan diri dengan makhluk lain. Tradisi sesudah itu memberikan penekanan mengenai arti sandang atas nama busana adat.

Baju kebiasaan melekatkan dirinya dengan simbol-simbol dan nilai-nilai yang hakiki. Persoalan warna, bahan, dan jahitan bukanlah momen yang sepele, tetapi condong kompleks dan rigid. Kekompleksan dan kerigidan itu adalah hasil akumulatif berasal dari perenungan dan pengembaraan arti yang panjang.

Karena itu, berbaju adat menumbuhkan kebanggan dan kecintaan. Kita dipersatukan melalui baju adat yang kita pakai. Sekat-sekat dan batas antara kaya-miskin dan juga tinggi-rendah, oposisi-koalisi, jadi hilang. Dengan berbaju adat, seluruh setara dan seimbang. Tidak tersedia kalah-cara menang main slot pragmatic, superior-inferior, besar-kecil.

Hal itu sekaligus mendekonstruksi pandangan kaum kapitalis yang memasang busana sebagai pemujaan akan modernitas. Baju-pakaian atas nama zaman senantiasa berubah, berasal dari wujud dan gaya. Masyarakat mengikuti supaya tidak dikata ketinggalan zaman, katrok, udik, dan ndeso.

Namun, sejatinya semua lagi terhadap kasus hitung-hitungan untung rugi yang kapitalistik. Model, gaya, dan wujud sengaja dilahirkan demi pamrih kapital. Wacana dan stereotipe dibangun lewat baju. Kita sesudah itu beri tambahan dikotomi pada yang pantas dan tak pantas untuk dipakai.

Di balik ingar bingar baju-baju baru, kita seringkali meremehkan pakaian adat sebagai sebuah pewarisan tradisi. Bahkan, tak jarang baju rutinitas berhadapan bersama berbagai penilaian yang cenderung merendahkan, berkonotasi negatif, kuno, terbelakang. Memakainya membangkitkan rasa minder dan malu. Sama bersama dengan musik tradisi, memainkannya melahirkan cibiran dan sindiran.

Karena itu, kenakan pakaian adat didalam bermacam seremonial dan upacara kenegaraan (terutama hari kemerdekaan lebih dari satu tahun belakangan) adalah sebuah harapan baru bagi nasib hidup baju-baju tradisi di negeri ini agar tak melulu dianggap berpamit mati. Setidaknya, berbaju kebiasaan beri tambahan teladan punya nilai bagi generasi (milenial) negeri ini. Berbaju rutinitas mampu memberikan penyegaran di dalam kemonotonan berbusana saban hari.

Selama ini nasib hidup baju tradisi semata hanya jadi gugusan wacana dan gagasan bagi para desainer, agar rancangannya diakui eksentrik dikarenakan berbasis tradisi. Baju rutinitas berpendar dalam wacana, tapi tak dapat tampil secara imanen dengan sebutan lain mandiri.

Tak tersedia salahnya pula kalau bisa dibentuk hari busana rutinitas nasional, di mana setiap orang bersama dengan beragam latar suku dan etnis kenakan pakaian adat versi mereka. Hal yang lebih penting adalah menggelorakan wacana dan pemikiran baru, bahwa berbaju kebiasaan adalah sebuah kebanggan diri.

Dalam deklarasi itu, kami memandang parade baju rutinitas dipertontonkan. Tradisi mengimbuhkan penguatan untuk tambah menumbuhkan kecintaan bagi Indonesia. Hal tersebut termasuk jadi semacam oase di selagi akhir-akhir ini gejolak menentang pluralisme gencar terjadi. Paham-paham radikal yang berusaha menyeragamkan manusia Indonesia bermunculan, apalagi sering gunakan agama sebagai kedok.

Oleh dikarenakan itu, tunjukkan kekayaan rutinitas yang kita punyai jadi detoksifikasi atas seluruh itu. Perayaan hari kemerdekaan adalah sarana aktualisasi untuk kembali mengingatkan mengenai arti perlu perbedaan.

Bukankah kebudayaan nasional dibangun dari puncak-puncak kebudayaan daerah yang tidak sama itu? Berbaju adat, bermusik tradisi, berbahasa daerah, adalah sebentuk penghargaan bagi Indonesia dalam melindungi marwah keindonesiaan kami di hari ini.

Leave a Reply